PDM Kabupaten Buleleng - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Buleleng
.: Home > Artikel

Homepage

Profetik dalam Fikiran, Transformatif dalam Gerakan, Kedamaian dalam Harapan

.: Home > Artikel > PDM
01 Maret 2020 22:24 WIB
Dibaca: 998
Penulis : Damurrosysyi Mujahidain (Ketua Umum PC IMM Buleleng)

Perilaku-perilaku manusia dalam suatu tatanan masyarakat yang senantiasa berubah menyebabkan penetapan kaidah-kaidah serta dalil yang tetap dan bias diterima oleh sebagian masyarakat merupakan salah satu hal yang tidak mudah. Maka atas dasar itulah Soerjono Soekanto memiliki pendapat bahwa ilmu sosial itu baru bias sampai pada tahap dinamika sosial yang senantiasa bergerak. Ini membuktikan bahwa belum adanya ketepatan hukum yang bisa disepakati secara bersama oleh para teoritikus sosial itu sendiri.
 
Adanya keterikatan kehidupan dalam bermasyarakat dengan hukum perubahan, terus memicu dan menginisiasi adanya penyelidikan ilmu sosial dari para ahli-ahli (di bidang sosial) ke beberapa kemungkinan. Seperti halnya Taufik Abdullah yang menegaskan kalau ilmu sosial adalah ilmu yang senantiasa mempelajari aktivitas manusia ketika sedang berada dalam kehidupan bersama dengan para pelaku sosial lainnya, dan aktivitas yang dimaksudkan ialah berfikir, berprilaku yang berkaitan dengan prosesnya dalam interaksi-interaksi diantara sesamanya. Pengertian ini memberikan penguatan bahwa interaksi merupakan syarat yang utama dalam ilmu sosial apapun yang dipelajari.
            Pitirim Sorokin membagi ilmu sosial dalam beberapa orientasi yang berbeda pada level pembelajaran yang berkaitan dengan tiga pola relasi yang terjadi dilapangan, yakni:
  • Pengaruh timbal  balik antara beberapa gejala sosial
  • Pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala nasional.
  • Ciri-ciri umum dari semua gejala sosial yang ada.
 
Dari semua orientasi yang dikemukakan oleh Pitirim Sorokin jika ditelaah lagi lebih dalam akan didapatkan beberapa contoh-contoh yang relevan sehingga menguatkan pernyataan Pitirim Sorokin itu sendiri. Seperti pengaruh timbal balik antara beberapa gejala sosial dengan contoh nyatanya adalah gejala ekonomi dengan agama, gejala keluarga dengan moral, dan beberapa contoh lainnya yang bisa digali dari fenomena-fenomena sosial yang terjadi disekitar kita. Kemudian orientasi selanjutnya yakni pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala nasional bisa kita lihat contoh nyatanya yakni gejala geografis, gejala biologis, gejala demografis, dan gejala-gejala lainnya.

Paradigma Ilmu Sosial
 
Dalam bahasan ilmu sosial, paradigm pasti menjadi sub-bahasannya. Lantas, apakah itu paradigma ilmu sosial? Secara bahasa, paradigma dapat diibaratkan layaknya sebuah jendela yang ditempati oleh untuk mengamati dunia luar, atau bisa dikatakan pula sebagai tempat berpijak untuk menjelajahi dunia yang luas ini dengan wawasan. Kata “paradigma” pertama kalinya dilontarkan/dipopulerkan oleh Thomas Khun dengan merujuk pada beberapa arti, seperti matriks disipliner, pola atau model berpikir, dan juga “world view”. Dari semua arti yang dijelaskan tadi dapat disimpulkan yakni sebagai pondasi utama dari paradigma itu sendiri dalam proses ilmiah, atau konstruk paradigma manusia yang terkait dengan suatu permasalahan.
 
Menurut Habernas seperti yang dikutip oleh Mansour Fakih bahwa paradigma ilmu sosial terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
  • Instrumental Knowledge (Paradigma Sosial Posivistik)
  • Hermeneutic Knowledge (Paradigma Sosial Interpretatif)
  • Critical Knowledge (Paradigma Sosial Kritis)
 
Paradigma ilmu sosial sudah banyak berkembang sejak zaman dahulu terutama di dunia barat dengan ditandai lahirnya ilmu-ilmu sosial baru yang dilahirkan oleh para pemikir-pemikir sosial seperti August Comte, Karl Marx, dan pemikir-pemikir lainnya. Tak hanya di dunia barat, di Indonesia sendiri pun juga lahir beberapa ilmu-ilmu sosial baru yang muncul untuk menjawab permasalahan sosial. Beberapa yang paling banyak dikenal dikalangan pegiat sosial adalah ilmu sosial profetik dan ilmu sosial transformatif.
 
Ilmu sosial profetik dan ilmu sosial transformatif lahir dari dua pemikir hebat Indonesia yang masing-masing memiliki permasalahan-permasalahan sosial yang berbeda yang melatar belakangi kelahiran dua ilmu sosial ini. Ilmu sosial transformatif (Islam transformatif) yang digagas oleh Moeslim Abdurrahman dan ilmu sosial profetik yang digagas oleh Kuntowijoyo.
 
Kedua penggagas tersebut merupakan teman dekat yang hidup dalam satu generasi. Dari keterangan tersebut, banyak muncul pertanyaan yang paling mainstream adalah, kenapa antara pak Kuntowijoyo dan pak Moeslim Abdurrahman tidak menyatukan gagasan mereka agar menjadi satu-kesatuan dan akan jauh lebih optimal dalam menjawab permasalahan sosial?
 
Pertanyaan tersebut terkesan sederhana namun secara tidak sadar dari pertanyaan itu menghasilkan pertanyaan-pertanyaan kecil lainnya seperti, apa perbedaan dari kedua ilmu sosial tersebut? Apakah ilmu sosial transformatif dan profetik memiliki persamaan? Apakah kedua ilmu sosial ini bisa dikorelasikan sehingga dapat menjawab permasalahan sosial jauh lebih optimal?

Ilmu Sosial Transformatif
 
Ilmu sosial yang pertama kita akan bahas kali ini adalah ilmu sosial transformatif. Ilmu sosial transformatif lahir pada tahun 1980an yang mana ketika itu merupakan tahun-tahun pegolakan pemikiran Islam yang melahirkan beberapa produk pemikiran yang salah satunya adalah ilmu sosial transformatif yang digagas oleh Moeslim Abdurrahman. Pak Moeslim menggagas ilmu sosial dilandasi dengan kegelisahannya terhadap ketimpangan-ketimpangan sosial yang ia perhatikan dengan salah satu sampel yang menggambarkan sebuah kali yang pada jam-jam tertentu aka nada banyak orang yang buang air besar dan disekitarnya diwaktu yang bersamaan ada yang menggunakan air sungai untuk mandi. Ditambah lagi kondisi masyarakat disekitar kali tersebut dengan kondisi ketimpangan sosial yang sangat tampak. Akhirnya hasil pengamatan tersebut dikenal dengan istilah teologi kalibokong yang menghasilkan gagasan Islam transformatif.
 
Moeslim Abdurrahman dengan Islam transformatif nya memiliki pandangan yang berbeda dengan kelompok sosialis komunis marxis yang beranggapan bahwa kelas-kelas sosial harus dihapus, justru menurut Moeslim Abdurrahman kelas dalam sosial harus tetap ada namun bagaimana kaum-kaum atas dapat menghargai dan juga menghormati kaum bawah agar masyarakat kaum bawah tetap memiliki  kehormatan dan martabat ditengah kondisi sosialnya.
 
Itulah gagasan besar yang tertuang dalam Islam transformatif. Namun dalam bukunya yang berjudul “Islam Transformatif”, Moeslim Abdurrahman menggunakan istilah teologi transformatif dan tidak satupun terdapat istilah ilmu sosial transformatif atau Islam transformatif. Hal ini yang kemudian mengundang kritik Kuntowijoyo tentang penggunaan istilah teologi yang dirasa kurang tepat jika disandingkan dengan ilmu sosial. Namun Moeslim Abdurrahman tetap teguh pada pendiriannya dengan teologi transformatif hingga sekarang tetap eksis dengan kajian-kajian yang banyak dilakukan oleh kelompok sosial atau bahkan mahasiswa.
 
Dalam landasan gerakannya (metodologi), Islam transformatif menggunakan yang namanya tafsir transformatif yang dikembangkan oleh Moeslim Transformatif juga. Dalam tafsir transformatif dilakukan dengan pendekatan double hermeneutic dengan beberapa langkah-langkahnya, Pada dasarnya tafsir transformatif memiliki langkah-langkah mulai dari konteks menuju teks dan kembali ke konteks dengan solusi yang relevan untuk dilakukan. Hermeneutika disini memiliki definisi yakni membaca alquran kemudian  kembali ke zaman ini dengan makna baru.
 
Dengan Islam transformatif, Moeslim Abdurrahman berharap tidak ada lagi ketimpangan sosial antara borjuis dan proletar, namun semua bisa hidup disini dengan perbedaan yang ada.

Ilmu Sosial Profetik
 
Ilmu sosial profetik merupakan hasil gagasan dari pemikiran Kuntowijoyo yang merupakan seorang sastrawan, budayawan. Profetik berasal dari kata prophet yang berarti nabi, dan ilmu sosial profetik merupakan ilmu sosial yang didasari oleh etika profetik (sifat-sifat kenabian). Kuntowioyo sangat terinspirasi dari kisah perjalanan isra’ mi’raj nabi Muhammad SAW. Kuntowijoyo sangat kagum dengan sosok nabi Muhammad yang ketika berada di Sidratul Muntaha bertemu Allah SWT memiliki keinginan untuk kembali ke bumi kepada umatnya. Kuntowijoyo merasa nabi Muhammad SAW memiliki jiwa humanis yang sangat tinggi yang membuat Kuntowijoyo menganggap bahwa kenabian secara formal telah berhenti pada Nabi Muhammad SAW, namun sifat-sifat kenabian yang bersifat humanis tadi menjadi tugas dan kewajiban bagi seluruh umat manusia terutama umat muslim. Fikiran tersebutlah yang menjadi landasan kuntowijoyo kemudian menggagas ilmu sosial profetik.
 
Ilmu Sosial Profetik (ISP) juga menjadi jawaban/respon terhadap pemiki-pemikir sosial barat seperti August Comte, Karl Marx, dll. Dalam ISP terdapat misi untuk mengubah beberapa konsep dasar pada paradigma ilmu sosial dibarat. Hal-hal yang (dianggap) salah itu kemudian menjadi 3 pilar ISP. Yakni transendensi, humanisasi, dan lliberasi.
 
Dalam humanisasi hal-hal yang dianggap kurang tepat menurut Kuntowijoyo adalah konsep dasar humanisasi pada ilmu sosial barat yang memiliki konsep antroposentris. Konsep antroposentris ini beranggapan bahwa seluruh kehidupan dan alam semesta semua berpusat pada manusia. Manusialah yang mempunyai kekuatan tertinggi untuk menentukan alam semesta bukan pada tuhan. Anggapan itulah yang ingin diubah oleh Kuntowijoyo dan dituangkan pada ISP menjadi teosentris bukan lagi antroposentris. Teosentris merupakan kebalikan dari antroposentris. Teosentris menganggap semua kehidupan berpusat pada tuhan karena tuhanlah yang menciptakan hidup dan seluruh alam semesta. Jadi semua harus berpusat pada tuhan bukan lagi pada manusia. Hal ini jugalah yang nantinya mengartikan istilah humanisasi itu sebagai proses memanusiakan manusia.
 
Liberasi merupakan gerakan pembebasan pada manusia. Leberasi pada ISP dan pada ilmu sosial barat pada konsepnya memiliki arti dan makna yang sama. Namun yang menjadi pembeda ialah jika dalam ilmu sosial barat menjadikan liberasi ini sebagai ideology, namun dalam ISP liberasi dijadikan sebagai ilmu sosial.
 
Pilar terakhir yakni transendensi. Transendensi memiliki arti sebagai konsepsi dasar dari keimanan yang memiliki makna luas tentang keimanan ilahiah dan keimanan sosial. Definisi tersebut didasarkan pada anggapan keseimbangan kehidupan vertical dan horizontal. Transendensi ini menjadi basis utama dalam humanisasi dan liberasi yang kemudian juga menjadi dasar dalam ISP dan teologi transformatif.
 
Dalam ISP juga Kuntowijoyo berharap adanya pergeseran makna dan tujuan dari makna yang dibawa oleh ilmu Marxism yang menganggap struktur menentukan suprastruktur itu keliru, seharusnya yang benar adalah suprastruktur lah yang menentukan struktur. Begitulah konsep-konsep yang dibawa oleh ISP gagasan Kuntowijoyo untuk menjawab permasalahan sosial dan zaman modernisasi yang mulai terlihat sekuler.
 
Kedamaian Dalam Harapan
 
Dalam ilmu sosial profetik maupun transformatif terdapat tujuan yang sama yakni kedamaian sosial tanpa adanya ketimpangan-ketimpangan antara si kaya dan si miskin dengan menggunakan agama sebagai spirit pembebasan.
 
Bagaimana ISP memberikan gambaran yang gamblang tentang konsepsi dasar dengan teori-teori pendukung yang relevan ilmu sosial keIslaman dan Islam transformatif memberikan gambaran tentang arah praksis serta implementasi dengan langkah-langkah yang sangat jelas akan memberikan banyak dampak terhadap kehidupan sosial dengan segala permasalahannya.
 
Kedamaian akan mudah didapatkan, yang akan mempengaruhi kualitas ibadah kepada Allah SWT. Civil Islam dengan kondisi aman dan damai akan memberikan gambaran Islam pada non-muslim bagaimana Islam yang sebenarnya yakni Islam damai, Islam berkemajuan.
 

Tags: Ortom , IMMBuleleng
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : Artikel Ortom

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website